Senin, 16 Agustus 2010
CANDI BOROBUDUR
Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya, candi ini dapat dijadikan media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari ajaran Budha. YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang budhis asal India pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini.
Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut "The Lamp for the Path to Enlightenment" atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.
Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikitari rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Dasarnya adalah prasasti Kalkutta bertuliskan 'Amawa' berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi. Beberapa yang lain mengatakan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi.
Dengan segala kehebatan dan misteri yang ada, wajar bila banyak orang dari segala penjru dunia memasukkan Borobudur sebagai tempat yang harus dikunjungi dalam hidupnya. Selain menikmati candinya, anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo untuk melihat aktivitas warga membuat kerajinan. Anda juga bisa pergi ke puncak watu Kendil untuk dapat memandang panorama Borobudur dari atas. Tunggu apa lagi? Tak perlu khawatir gempa 27 Mei 2006, karena Borobudur tidak terkena dampaknya sama sekali.
Arti Candi Borobudur
Candi Borobudur, disamping sebagai lambang tertinggi bagi Agama Buddha Mahayana, stupa Borubudur juga merupakan replika dari kosmologi atau alam semesta, sesuai filsafat Mahayana. Stupa Borubudur Borubudur terdiri dari tiga-dhatu (dhatu disini berarti alam atau loka, Tri-loka berarati Tiga Alam) yaitu : Kama-dhatu, Rupa-dhatu, dan Arupa Dhatu.
Bangunan Borubudur terdiri dari 10 tingkat yang berarti menunjukkan 10 tingkat kemajuan spiritual Bodhisattva atau Dasabhumi. Dasabhumi merupakan doktrin Mahayana. Pada dinding candi menjelaskan arti dari teks atau kitab suci Lalitavistara, Gandavyuha, Catakamala, dan Maha-Karmavibhangga.
Secara keseluruhan candi itu merupakan refleksi keagamaan dari isi kitab suci, doktrin, dan filsafat serta tradisi agama Buddha Mahayana yang meyakinkan dan menakjubkan sebagaimana diajarkan di Universitas Nalanda di India.
Candi Borobudur adalah bangunan suci Mahayana, Candinya merupakan dunia archais, dunia kuno, namun tetap hidup; mengungkapkan dunia masa silam tetapi masih hadir ke hadapan kita dalam format tertentu, mengandung makna spiritual yang begitu dalam.
Bangunan candi Borubudur bila dilihat dari atas bagaikan bunga teratai. Bunga teratai melambangkan kesucian dan tumbuhnya sebanyak 7 tangkai bersamaan waktu dengan saat Sidharta baru lahir kemudian langsung berjalan 7 langkah diatas bunga teratai yang baru tumbuh itu.
Relief yang menjelaskan kitab suci dalam candi merupakan bagian dari Sembilan Dharma dalam Agama Buddha Mahayana; Sembilan Dharma yaitu : 1. Astasahasrika-Prajnaparamita, 2. Gandavyuha, 3. Dasabhumisvara, 4. Samadhi-raga, 5. Lankavatara, 6. Saddharma-Pundarika, 7. Tathagata-guhyaka, 8. Lalitavistara, 9. Suvarna-Prabhasa.
Jatakamala
Dalam teks Jatakamala dan Awadana menjelaskan arti tentang perbuatan-perbuatan bijak yang telah diperbuat oleh Siddharta Gautama (sebelum menjadi Bodhisattva dan Buddha) pada masa kehidupan lampau. Dalam teks ini beliau seringkali menjelma sebagai kelinci, berang-berang, serigala, kera dan kura-kura. Perbuatan-perbuatan baik ini diharapkan dapat menjadi contoh atau suri teladan bagi manusia, jangan berbuat sewenang-wenang (tentang Kota Puruka), tentang kesetiaan (cerita Kinara-Kinari) tentang pengorbanan, tentang persembahan korban.
Maha-Karmavibhangga
Penjelasan teks ini berupa relief-relief pada bagaian kaki candi Borobudur yang tertimbun. Maha-Karmavibhangga menjelaskan tentang hukum sebab dan akibat dari perbuatan karma. Pelaku kejahatan akan menerima hukumannya di Neraka dan pelaku kebaikan akan menerima pahala di Nirwana. Neraka yang disebutkan di dalam kitab suci ini adalah Sanjiva dan Kalasutra, Sanghata dan Raurawa, Maharaurawa, dan Tapana, Pratapana dan Awici.
Lalita-vistara
Banyak versi tentang cerita dalam Lalita-vistara. Lalita-vistara menceritakan kehidupan masa lampau sekian kalpa yang lalu, tentang kelahiran Sidharta Gautama, menjadi Bodhisattva dan mencapai ke-Buddha-an, Buddha Gautama, memberikan khotbahnya yang pertama di Taman Rusa dekat Benares yang dikenal dengan Pemutaran Roda Dharma (Dharmacakra Pravartana Sutra).
Gandavyuha
Gandavyuha menceritakan seorang anak saudagar kaya raya yang bernama Sudhana. Sudhana telah mengembara ke sana ke sini untuk berguru guna mendapatkan pengetahuan tertinggi mengenai arti kehidupan. Sudhana telah bertemu dengan Bodhisattva Manjusri dan Maitreya.
Tiga-Dhatu (Triloka) dan Dasabhumi
Tingkat Kamadhatu : J.W. Ijzerman, tahun 1885, secara kebetulan telah menemukan di bawah tembok batu bagian ini dari kaki bengunah yang asli Candi Borobudur. Menggambarkan adegan-adegan dari Maha-Karmavibhangga yang melukiskan tentang hukum sebab-akibat. Kamadhatu adalah sama dengan 'alam-bawah' tempat manusia biasa, melambangkan kehidupan yang masih diliputi oleh hawa nafsu angkara murka yang menguasai diri manusia, dalam arti belum memperoleh petunjuk keheningan. Dalam Dasabhumi pada tingkatan Pramudita, Vimala, Prabhakari.
Tingkat Rupadhatu : Di Candi Borobudur pada tingkat bangunan mulai dari tingkat 2 sampai dengan tingkat 6. Tingkat ini merupakan tingkat antara dari alam Manusia ke alam Buddha. Di candi Borobudur, pada tingkat ini berisi relief-relief yang menggambarkan cerita-cerita dari naskah Sansekerta : Gandavyuha, Lalita-Vistara, Jatakamala, dan Awadana. Rupadhatu melambangkan tingkat di mana manusia mulai sadar diri, dan berusaha mengendalikan hawa nafsu durjana untuk menumpas kedurhakaan, dalam Dasabhumi pada tingkatan Arcismati, Sudurjaya, Abhimukhi, Durangama.
Tingkat Arupadhatu : merupakan alam non-materi murni, melambangkan manusia yang telah sampai pada makna hakiki itu, dan telah mawas diri menguasai alam Spiritual, dalam Dasabhumi pada tingkat Acala, Sadhumati, dan Dharmamegha. Di Candi Borobudur mulai dari tingkat 7, kita akan merasakan suatu suasana yang tenang dan tenteram, seakan-akan kita berada di alam samadi. Bodhisattva berada di tingkat Acala.
Panca Dhyani Buddha dan Mudra
Agama buddha Mahayana memberikan penghormatan dan pemujaan terhadap Buddha Sakyamuni, juga melakukan penghormatan dan pemujaan terhadap para Dhyani Buddha dan Para Bodhisattva.
Dhyani Buddha adalah para Buddha yang telah mencapai Samyak Sambodhi menurut waktu kosmik atau disebut juga Kosmik Buddha jauh sebelum Sakyamuni Buddha menurut sejarah. Mudra adalah suatu gerakan tangan yang mempunyai arti dan lambang.
Menurut Mahayana-Tantrayana ada Panca Dhyani Buddha yaitu :
1 Aksobhya Dhyani Buddha : Dengan Bhumisparsa mudra yaitu telapak tangan kiri ke atas dan diatas pangkuan, telapak tangan kanan menelungkup di atas lutut kanan, menunjukkan bumi sebagai saksi.
2 Ratnasambhava Dhyani Buddha :dengan Wara Mudra yaitu telapak tangan kiri terbuka ke atas pengkuan, telapak tangan kanan terbuka diatas lutut kanan, memberikan anugerah dan berkah.
3 Amitabha Dhyani Buddha : dengan Dhyana mudra yaitu telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri di pangkuan bermeditasi
4 Amoghasidhi Dhyani Buddha : dengan Abhaya Mudra yaitu telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan telapak tangan kanan diatas lutut kanan dengan jari-jari terbuka ke atas, ibu jari ke dalam, artinya jangan takut.
5 Wairocana Dhyani Buddha : dengan Witarka mudra yaitu telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan, telapak tangan kanan diatas lutut kanan, tiga jari : tengah, manis, dan kelingking ke atas, ibu jari dan jari telunjuk membentuk lingkaran, artinya telah menguasai tiga loka (triloka)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar