Rabu, 17 November 2010

RAJO JAMBI

Cerita Rakyat Asal Usul Rajo Jambi

Negeri Jambi yang dahulu dikenal sepucuk Jambi Sembilan Lurah, dimasa itu belum mempunyai raja. Di samping itu pula belum mempunyai tempat yang tertentu sebagi ibu negeri. Yang ada waktu itu ialah Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petaji, dan Muara Sebo, semuanya mempunyai kebebasan sendiri-sendiri. Negeri-negeri ini tunduk kepada Batin dua Belas dan pusatnya ialah Dusun Mukomuko yang mempunyai sebuah istana di kaki bukit Si Guntang di Sumai suatu tempat tersuruk jauh di pedalaman.
Tujuh Koto bukan koto nan tujuh, tetapi bermakna dubalang nan tujuh. Begitu pula Sembilan Koto bermakna dubalang nan Sembilan. Batin Duo Belas berarti dubalang nan duo belas. Muara Sebo Berarti tkang sambut tamu. Sedangkan Petajin berarti tukang tarah atau pertukangan.
Mengingat peranan seorang raja amat penting karena berfungsi sebagai pemimpin yang akan mempersatukan negeri-negeri, maka pada masa itu diputuskan untuk mencari seseorang yang patut di antara mereka untuk diangkat sebagai pemimpin. Pemimpin yang sekaligus sebagai raja
Untuk melaksanakan keinginan tersebut bermufakatlah semua negeri tadi untuk berkumpul di Dusun Mukomuko. Dubalang nan tujuh. Dubalang nan Sembilan, dan dubalang nan dua belas berkjmpul disana. Dengan berkumpul itu mereka dapat bermusyawarah untuk menetukan siapa yang patut diangkat sebagai raja. Seseorang dapat menjadi raja harus yang tahan uji. Orang itu harus tahan dibakar. Direndam tiga hari tiga malam. mampu dijadikan peluru meriam yang akan ditembakkan dalam terakhir harus lulus pula dari ujian digiling dengan kilang besi.
“Siapa yang bersedia diangkat sebagai Raja?” Kata salah seorang dubalang yang dua belas kepala dubalang nan tujuh dan dubalang nan sembilan. “ Kalau dubalang di negeri kita ini cukup. Tetapi raja kita belum punya.”
Mendengar ucapan dan tawaran itu, pada Dubalang dari Tujuh Koto menyatakan kesanggupan pihak mereka. Kemudian disusul pula oleh Sembilan Koto dan Bati Duo-Belas yang tak hendak ketinggalan dari rekan mereka. Tentu saja gelagat yang seperti ini menimbulkan hal yang tidak menyenangkan. Maka ketiga negeri tersebut segera berembuk mencari jalan keluar. Masing-masing harus menjalani ujian dengan dibakar, direndam tiga hari tiga malam, dijadikan peluru meriam, dan harus sanggup digiling dengan kilang besi.
Pertama sekali yang menjalani ujian ialah salah seorang Dubalang dari sembilan koto. Ia dibakar direndam tiga hari tiga malam, dan dijadikan peluru meriam, ternyata semua ujian itu dapat dilewati tanpa mencederainya sedikit juapun. Ujian berikutnya digiling dengan kilang besi. Ternyata pada ujian ini ia tak sanggup. Karena Dubalang Sembilan Koto tidak berhasil menjalani ujian, maka dipanggilah Dubalang dari Tujuh Koto.”Siapa pula gerangan di antara kalian Dubalang Tujuh Koto yang sanggup?” Tanya wakil Dubalang Batin Duo Belas. “Ha, di antara kami ada yang sanggup jawab salah Dubalang yang bertujuh.
Dubalang Tujuh Koto pun dibakar. Ia lolos dalam ujian. Kemudian direndam tiga hari tiga malam. Lolos juga. Dimasukkan pula ke dalam mulut meriam. Untuk ditembakkan. Masih juga berhasil. Ujian berikutnya digiling dengan kilang besi. untuk ujian yang begini ternyata dubalang tersebut tidak mampu ia mengaku kalah.
Tibalah pula giliran dubalang nan dua belas. Salah seorang tampil ke tengah gelanggang. Semua ujian dapat dilewatinya dengan baik. Tetapi ketika sampai pada ujian keempat digiling dengan kilang besi ia tak sanggup sama sekali.”
Kembali Dubalang dari ketiga negeri tersebut mengadakan perundingsan mereka semua tidak mampu lolpos dalam ujian yang mereka jalani. “Kitya harus mencari seorang Raja dari Negeri lain Kata salah seorang Dubalang Nan Duo Belas.
Maka diputuskanlah untuk mencari seseorang dari negeri lain untuk diangkat menjadi raja. Rombongan pencari raja mulai berjalan dari satu negeri ke satu negeri, berlayar dari satu tempat ke tempati lain. Menjelajahi daerah-daerah asing, bertanya kalau-kalau ada seseorang yang bersedia diangkat menjadi raja. Namun yang dicari tak kunjung bertemu. Dalam keadaan putus asa akhirnya rombongan itu sampai di negeri Keling. Dengan sia-sia tenaga mereka kitari negeri besar dan ramai itu. Kalau nasib akan beruntung di sana bertemu dengan seseorang yang nampaknya memenuhi harapan mereka. Orang itu patut benar diankat segagai raja negeri Jambi, negeri mereka. Tanpa kesukaran calon raja tadi lalu dibawa ke Jambi dengan kendaraan dendang yang mereka gunakan semula.
Setelah beberapa lama berlayar di lautan, mereka samapi di muara sebagai sungai yang amat besar. Mereka lalu berhenti di sana Timbul dalam pikiran mereka untuk menguji calon raja yang mereka bawa dengan suatu soal. Para hulubalang segera mengajukan pertanyaan kepada calon raja mereka.
“Elok kiranya Tuanku, jika dapat menjawab sebuah pertanyaan kami!” kato salah seorang dubalang “Muara sungai tempat kita berhenti ini apa gerangan namanya. “Ha, inilah yang bernama muara kepetangan hari “jawaba calon raja tersebut. Dari ucapan dan jawaban beliau ini maka kemudian dinamakan sungai besar tersebut Batang Hari, hingga sekarang.
Ucapan dan jawaban beliau itu sangat mengembirakan para hulubalang. Dalam pikiran mereka orang yang mereka bawa itu lolos dalam ujian pertama. Kalau nanti ujian-ujian selanjutnya dapat ditempuhnya dengan baik maka berarti memang patut diangkat sebagai raja.
Dengan perasaan gembira rombongan itu pun melanjutkan perjalanan menuju Mukomuko. Berhari-hari mereka memudiki sungai Batang Hari. Akhirnya mereka sampailah di Mukomuko, ibu negeri Batin Duo Belas. Begitu sampai dikumpulkanlah semua rakyat beserta sekalian menteri dan hulubalang, baik para hulubalang darei Tujuh Koto, Sembilan koto, maupun dubalang dari Batin Duo Belas sendiri. Mereka berkumpul di sana untuk menyaksikan calon raja mereka menjalani ujian.
Mulailah diadakan pengujian yang mendebarkan hati bagi setiap orang yang menyaksikannya. Mula-mula calon raja dibakar, ia tidak cedera sedikitpun. Direndam tiga hari tiga malam, ternyata tidak apa-apa juga, ia diangkat dari dalam air dalam keadaan segar-bugar. Beliau segera pula dimasukkan ke dalam mulut meriam lalu tembakkan. Masih tidak apa-apa. Ujian Beriktunya, yang amat mengerikan,, digiling dengan kilang besi yang sedang dipajang. Semua mata memandang kepadanya. Apakah calon raja mereka sanggup menuyelesaikan ujian yang terakhir ini?, Apakah nanti tubuhnya tidak akan remuk dihantam putaran kilang besi yang menakutkan itu? Kilang besi terdengar kroyak—kreyok karena sudah diputar. Calon raja jemputan dari negeri Keling ini menyorongkan tangannya masuk ke dalam dua jepitan kilang, kilang berhenti berputar. Kemudian kakinya. Maka ketiak kaki itu disorongkan, kilang besi pun remuk seketika hancurl berkeping-keping. Melihat ini rakyat bertempik sorak. Menteri dan hulubalang menyerbu ketengah gelanggang ke tempat bakal raja mereka. Bakal raja itu mereka dukung dan diusungkan ke istana. Karena semua ujian berhasil dilewatinya, dengan resmi ia pun diangkat sebagai raja. Pesta besar segera diadakan meresmikan pengangkatan raja yang mulai diserahi kekuasaan untuk memerintah.
Setelah resmi menjadi raja, dan setelah ia berkuasa baginda memerintahkan kepada rakyatnya membuat sibuah lukah. Lukah tersebut harus dipasang diatas bukit. Menghadapi keadaan yang ganjil ini, rakyat tak habis pikir. Adakah mungkin lukah dipasang di atas bukit? Bukankah lukah alat untuk menangkap ikan? Ikan mana pula yang akan masuk ke dalam lukah yang dipasang diatas bukit? Pikiran-pikiran gundah mulai timbul dikalangan rakyat. Dubalang nan tujuh, dubalang nan Sembilan, dan dubalang nan dua belas, mencoba mencari-cari kebijaksanaan apa yang tersembunyi di balik perintah raja yang musykil yang dibebankan kepada rakyat. Tetapi karena tak kunjung mendapat jawaban, dan makin bertambah pelik, maka mereka berangkat untuk menerima perintah raja mereka. Karena takut dubalang tadi terpaksa juga akhirnya membuat lukah seperti yang diperintahkan raja. Begitu selesai, lukah tersebut segera dibawa ke atas bukit dan dipasang disana.
Lukah sudah terpasang. Dubalang nan tujuh, nan sembilan, dan nan dua belas bergantian menengok lukah yang ditaruh di atas bukit itu. Jangan-jangan seekor ikan besar telah ada didalamnya. Kalau tidak diulangi dikhawatirkan ikan tersebut menjadi busuk. Mereka bergantian dari hari ke atas bukit. Kalau dubalang nan tujuh sudah kembali, giliran dubalang nan sembilan pergi pula ke atas bukit.
Kalau, dubalang nan sembilan telah pula kembali, giliran dubalang nan dua belas pergi pula ke sana. Begitulah seterusnya mereka bergantian bertugas melihat luka yang dipasang di atas bukit tersebut. Namun yang mereka temui masih lukah kosong seperti yang terpasang semula. Kendatipun demikian karena patuh kepada raja, mereka tetap setiap bergantian melihat. Kalau-kalau lukah yang mereka pasang dahulu itu telah mengena. Mereka tertawa sabar menjalankan tugas.
Suatu ketika tiba giliran pula dubalang nan dua belas memanjat ke atas bukit mengulangi lukah yang terpasang. Dilihatnya lukah telah berisi. Ia pun bergegas melapor kepada raja di istana. “Kena Tuanku!” katanya kepada raja,” Lukah kita mengenai sesuatu “Bagus!” jawab raja. “Asahlah pedang tajam-tajam oleh kalian dubalang nan tujuh, sembilan, dan dua belas. “Para dubalang tadi mulailah mengasah pedang, mereka bergantian bekerja.
Akhirnya pedang pun tajamlah. Karena ketajamannya rambut di ampaikan di atasnya akan putus. Pedang telah tajam. Lukah pun segera dijemput. Di dalam lukah itu terlihat hantu pirau. Badannya kecil. Bentuknya persis seperti manusia, bahkan mahluk bersebut dapat berbicara dalam bahasa manusia. Ucapannya dapat dipahami. Sifat hantu pirau dapat menyebutkan asal-usul seseorang tanpa diberitahukan terlebih dahulu. Itulah keistimewaannya yang luar biasa. “Ooi, Tuanku!” kata hantu pirau tersebut kepada raja. “Hamba jangan dibunuh! Kalau hamba dibunuh tak ada gunanya sama sekali bagi Tuanku. Lebih baik lepaskan saja hamba. Apa saja kehendak Tuanku akan hamba beri!”
Kalau begitu katamu!”boleh!” jawab raja pula. “Aku minta cincin cinta-cinta. apa yang diminta anda?”
Mendengar ucapan raja tersebut, hantu pirau sangat gembira. Sekejap mata ia telah memberikan apa yang diminta raja tadi. Raja pun demikian pula dengan gembira mengambil cincin tersebut lalu dipasangkannya ke jari tangannya. Sesudah itu disuruhnya dubalang yang ada didekatnya melepaskan hantu pirau yang terkurung di dalam lukah tadi.
Peristiwa lukah mengenai hantu pirau telah berlalu. Begitu pula cincin cinta-cinta telah dimiliki oleh raja. Semua ini bagaikan suatu peristiwa biasa bagi rakyat. Tetapi tidak demikian halnya dengan raja. Beliau inigin membuktikan kemukjizatan serta mengadakan apa yang dimintanya hendaknya janganlah diketahui rakyatnya. Dan sebaliknya pula itu dilakukan bukan di Mukomuko, tetapi dikeling negeri kelahirannya sendiri. Berdasarkan pertimbangan-pertrimbangan ini baginda memutuskan untuk segera kembali ke keeling. ia dapat leluasa di sana mencobakan keampuhan cincinnya.
Sesampai di negerinya ia pun segera meminta agar kota Bombai berhiaskan berlian segalanya. Sungguh luar biasa apa yang beliau pinta terkabul seluruh bombai lampu-lampunya bertatahkan intan berlian. Mesjid-mesjidnya dihiasi intan gemerlapan.
Mungkin terlena akan kekayaan yang dimilikinya, raja tidak hendak kembali lagi ke Jambi lyang berbalik hanya anaknya yang bernama Sultan
Baring. Sultan Baring inilah yang melanjutkan pemerintahan di negeri Jambi. I adapt bertindak sebagai raja yang diingini rakyat. Kelak ternyata Sultan Baring ini menurunkan anak yang akan menjadi raja yang turun-temurun. Ada raja Itam, Sultan Taha, sampai kepada raden-raden misalnya Raden Inu Kertopati.





Tidak ada komentar: