Minggu, 01 Mei 2011

Uji Toksisitas Air Limbah Batik

Industri kerajinan kain batik Jambi merupakan salah satu industri rumah tangga yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah daerah Jambi. Dalam beberapa tahun terakhir laju pertumbuhan rata-rata sentra industri batik cukup tinggi yaitu sekitar 15% per tahun (Harun, 1997). Kerajinan batik Jambi biasanya dikelola dalam keluarga, keberadaannya memberikan kontribusi cukup besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta merupakan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah provinsi Jambi (Anavia, 2001:1).
Perkembangan industri batik di Jambi sangat pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan bahan tekstil. Aktivitas industri disamping memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Menurut Anonim (2003:1), industri batik yang berpotensi mencemari lingkungan adalah daerah Danau Teluk (Kota Jambi), dan Muara Bulian (Batanghari), dimana limbahnya dalam bentuk cairan berwarna. Industri batik di daerah tersebut berjumlah 6 buah dengan kapasitas 3.360 potong/tahun dan 4.500 meter/tahun. Pencemaran air oleh industri batik pada umumnya disebabkan oleh proses basah, yaitu pencucian batik yang telah diolah dengan air panas untuk menghilangkan malam ataupun untuk mencuci bekas soga, indigo (pewarna batik) (Astirin, 2000:1). Hal ini terjadi karena pada umumnya industri kerajinan batik menggunakan bahan pembantu untuk pewarnaan dan pembilasan/pencucian. 

Pada umumnya zat warna yang digunakan adalah zat warna sintetik, karena harganya murah dan memberikan hasil yang memuaskan. Akan tetapi zat warna masih berwarna dan sulit terdegradasi (Anavia, 2001:7). Limbah tersebut dapat mengganggu estetika perairan, menghalangi penetrasi sinar matahari ke dalam badan air yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas lingkungan.
Sebagian industri rumah tangga ini membuang limbah cair usaha kerajinan batiknya langsung ke tanah atau ke selokan disekitar rumah lokasi pembatikan tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu. Dengan demikian sisa zat berwarna tersebut dapat menyebar ke sungai atau badan air (Fatodilah, 2004:2).
Jika badan air mengalami pencemaran, maka akan berpengaruh terhadap beberapa komponen yang ada dalam badan air tersebut. Ikan merupakan organisme perairan yang paling mudah diamati pada saat perairan mendapatkan tekanan yang berupa limbah atau polutan baik yang berasal dari industri maupun limbah rumah tangga. Pada ikan yang hidup dalam habitat terbatas (seperti sungai, danau dan teluk), ikan itu sulit menghindar dari pengaruh pencemaran. Akibatnya, unsur-unsur pencemaran itu masuk ke dalam tubuh ikan (Mangkoedihardjo dalam Halang, 2004:41). Sehingga ikan dapat dijadikan sebagai hewan uji-toksisitas suatu zat pencemar/polutan.
Kualitas air ditentukan oleh banyak faktor, antara lain zat terlarut, zat tersuspensi dan makhluk hidup, khususnya jasad renik di dalam air. Apabila kualitas air tidak sesuai lagi untuk kehidupan, air itu disebut tercemar. Hal ini berdampak negatif terhadap lingkungan terutama kesehatan manusia sehingga perlu diadakan penanganan terhadap limbah tersebut. Efek negatif pewarna kimiawi dalam proses pewarnaan oleh pengerajin batik adalah resiko terkena kanker kulit. Ekosistem sungai menjadi rusak. Akibatnya, ikan-ikan mati dan air sungai tidak dapat dimanfaatkan lagi (Fafodilah, 2004:2).
Zat pewarna pada industri batik berpotensi mencemari lingkungan. Bahan-bahan limbah batik yang mengandung zat kimia terlarut tersebut berpengaruh terhadap proses-proses fisiologi ikan, sehingga perilaku ikan pun umumnya berubah. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kadar limbah batik di perairan dapat melebihi ambang, sehingga menimbulkan efek negatif berupa kematian biota. Untuk mengetahui zat/unsur pencemar penyebab terganggunya kehidupan biota dan efek yang ditimbulkannya terhadap biota yang ada, bisa dilihat dari suatu hasil uji toksisitas dengan menggunakan hewan uji (Mangkoedihardjo dalam Halang, 2004)

Tidak ada komentar: